Sejarah
‘Aqiqah
Adapun menurut
istilah agama, yang dimaksud ‘aqiqah ialah : Sembelihan yang disembelih
sehubungan dengan kelahiran seorang anak, baik lakilaki ataupun perempuan pada
hari yang ke tujuh sejak kelahirannya dengan tujuan semata-mata mencari ridla
Allah.
Syariat ‘aqiqah,
yaitu menyembelih 2 ekor kambing jika anaknya laki-laki, dan seekor kambing
jika anaknya perempuan, telah dikenal dan biasa dilakukan orang sejak zaman
jahiliyah, namun dengan cara yang berbeda dengan yang dituntunkan oleh Nabi SAW
bagi ummat Islam.
Buraidah berkata
:Dahulu kami di masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai
anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu.
Maka setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur
(menggundul) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak wangi. [HR. Abu Dawud
juz 3, hal. 107, no. 2843]Dari 'Aisyah, ia berkata, "Dahulu orang-orang
pada masa jahiliyah apabila mereka ber’aqiqah untuk seorang bayi, mereka
melumuri kapas dengan darah ‘aqiqah, lalu ketika mencukur rambut si bayi mereka
melumurkan pada kepalanya”. Maka Nabi SAW bersabda, "Gantilah darah itu
dengan minyak wangi". [HR. Ibnu Hibban juz 12, hal. 124, no. 5308]
Demikianlah sejarah
syariat ‘aqiqah dalam Islam, dan dari riwayat-riwayat diatas serta
riwayat-riwayat lain, tampak jelas bagaimana sikap agama tercinta ini dalam
menghadapi adat yang sudah biasa berjalan dan berlaku pada masyarakat dan masih
mungkin diluruskan. Tegasnya, Islam sesuai dengan fungsi diturunkannya yaitu sebagai
lambang kasih sayang serta memimpin ke arah jalan yang serba positif, maka
dalam menghadapi adatistiadat yang sudah biasa dilaksanakan sekelompok manusia,
menempuh tiga macam cara yaitu :
- Menghapusnya sama sekali, bila didalam adat-istiadat itu mengandung unsur-unsur kemusyrikan yang tidak mungkin diluruskan lagi, maupun hal-hal yang membahayakan keselamatan manusia itu sendiri; baik dari segi aqidah (rohani) maupun bagi tata masyarakatnya. Dalam hal ini Islam tidak dapat mentolerir atau membiarkannya hidup dan bersemi dalam kehidupan ummatnya, karena sesuai dengan kenyataan, bahwa petani yang pandai serta bertanggungjawab terhadap berhasil dan suburnya sang padi, tidak akan membiarkanhidup alang-alang dan rumput-rumput liar yang ada di sekeliling padinya.
- Sedang bila dalam adat-istiadat tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan agama akan tetapi masih dapat diluruskan, maka Islam datang untuk meluruskannya dan kemudian berjalan bersamasama dengan Islam, sebagaimana masalah ‘aqiqah ini.
- Adapun adat-istiadat yang tidak mengandung unsur-unsur kemusyrikan dan kedhaliman serta tidak bertentangan dengan agama, maka Islam memelihara dan memberi hak hidup baginya untuk berkembang lebih lanjut dalam masyarakat tersebut tanpa sesuatu perubahanpun.
UNTUK
PEMESANAN HUBUNG
085642038670
081329340571
SMS
ATAU TELFON, MAKA KAMI AKAN DATANG
KERUMAH ANDA.
ATAU
ANDA KERUMAH KAMI JUGA BISA.
Hal-hal
yang disyariatkan sehubungan dengan ‘aqiqah
A.
Yang berhubungan dengan sang anak
- Disunnahkan untuk memberi nama dan mencukur rambut (menggundul) pada hari ke-7 sejak hari lahirnya. Misalnya lahir pada hari Ahad, ‘aqiqahnya jatuh pada hari Sabtu.
- Bagi anak laki-laki disunnahkan ber’aqiqah dengan 2 ekor kambing sedang bagi anak perempuan 1 ekor.
- ‘Aqiqah ini terutama dibebankan kepada orang tua si anak, tetapi boleh juga dilakukan oleh keluarga yang lain (kakek dan sebagainya).
- ‘Aqiqah ini hukumnya sunnah.
Dalil-dalil
PelaksanaanDari Yusuf bin Mahak bahwasanya orang-orang datang kepada Hafshah
binti 'Abdur Rahman, mereka menanyakan kepadanya tentang 'aqiqah. Maka Hafshah
memberitahukan kepada mereka bahwasanya 'Aisyah memberitahu kepadanya bahwa
Rasulullah SAW telah memerintahkan para shahabat (agar menyembelih 'aqiqah)
bagi anak laki-laki 2 ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan 1
ekor kambing. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 35, no. 1549].
Dari Salman bin ‘Amir
Adl-Dlabiy, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,
"Tiap-tiap anak itu ada ‘aqiqahnya. Maka sembelihlah binatang ‘aqiqah
untuknya dan buanglah kotoran darinya (cukurlah rambutnya)". [HR. Bukhari
juz 6, hal. 217]
Dari 'Amr bin Syu'aib
dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
"Barangsiapa berkehendak untuk meng'aqiqahkan anaknya maka kerjakanlah.
Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan
satu ekor kambing". [HR. Ahmad juz 2, hal. 604, no. 2725]Dari 'Aisyah RA,
ia berkata, "Rasulullah SAW pernah ber’aqiqah untuk Hasan dan Husain pada
hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya
dihilangkan kotoran dari kepalanya (dicukur)". [HR. Hakim, dalam
Al-Mustadrak juz 4, hal. 264, no. 7588]
Keterangan :
Hasan dan Husain adalah cucu Rasulullah SAW. Dari Samurah bin
Jundab, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Tiaptiap anak tergadai
(tergantung) dengan ‘aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ke-7, di hari
itu ia dicukur rambutnya dan diberi nama". [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 106,
no. 2838]
Dari Samurah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Setiap anak
tergadai dengan ‘aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ke-7, dicukur
rambutnya, dan diberi nama”. [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1056, no. 3165]
B.
Yang berhubungan dengan binatang sembelihan
- Dalam masalah ‘aqiqah, binatang yang boleh dipergunakan sebagai sembelihan hanyalah kambing, tanpa memandang apakah jantan atau betina, sebagaimana riwayat di bawah ini :Dari Ummu Kurz (Al-Ka'biyah), bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ‘aqiqah. Maka jawab beliau SAW, "Ya, untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Tidak menyusahkanmu baik kambing itu jantan maupun betina". [HR. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya, juz 3, hal. 35, no. 1550] Dan kami belum mendapatkan dalil yang lain yang menunjukkan adanya binatang selain kambing yang dipergunakan sebagai ‘aqiqah.
- Waktu yang dituntunkan oleh Nabi SAW berdasarkan dalil yang shahih ialah pada hari ke-7 semenjak kelahiran anak tersebut. [Lihat dalil riwayat 'Aisyah dan Samurah di atas]
Hal-hal yang perlu
diperhatikan :
Dalam masalah ‘aqiqah
ini banyak orang yang melakukannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan
apa yang dituntunkan oleh Nabi SAW. Tetapi bila mereka ditanya dalilnya atau
tuntunannya, mereka sendiri tidak dapat mengemukakannya dengan jelas. Maka kami
suguhkan kepada saudara-saudara kaum Muslimin, dalil-dalil yang biasa
dipergunakan sebagai dasar amalan-amalan yang berhubungan dengan masalah
‘aqiqah, sedang dalil tersebut adalah lemah dan tidak dapat dipergunakan
sebagai hujjah/alasan dalam masalah hukum. Diantaranya :
1. Adzan dan Iqamah
pada telinga bayi yang baru lahir.Dari Abu Rafi' ia berkata, "Saya pernah
melihat Rasulullah SAW membaca adzan (sebagaimana adzan) shalat, pada kedua
telinga Hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah". [HR. Ahmad juz 9, hal.
230, no. 23930, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ashim bin
‘Ubaidillah]
Keterangan :
Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Hakim dan Baihaqi dan
juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan lafadh yang agak
berbeda. Dan hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Ath-Thabrani sebagai
berikut :Dari Abu Rafi’ bahwasanya Nabi SAW membaca adzan pada telinga Hasan
dan Husain RA ketika keduanya dilahirkan. Dan beliau menyuruh yang demikian
itu. [HR. Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir juz 1, hal. 313 no.
926]Hadits-hadits tersebut kesemuanya diriwayatkan melalui jalan 'Ashim bin
'Ubaidillah.
Tentang ‘Aashim bin ‘Ubaidillah ini, Bukhari berkata : Ia
mungkarul hadits. Abu Zur’ah berkata : Ia mungkarul hadits. Abu Hatim berkata :
Ia mungkarul hadits. Daruquthni berkata : ia matruukul hadits. Nasa’iy berkata
: Ia dla’if. (Lihat Mizaanul I’tidal juz 2 hal. 353 no. 4056; Tahdziibut
Tahdziib juz 5, hal. 42, no. 79).
Ada lagi hadits yang
diriwayatkan Ibnus Sunni demikian :Dari Husain bin Ali RA, ia berkata :
Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa mempunyai anak yang baru dilahirkan,
kemudian ia mensuarakan adzan di telinga yang kanan, dan iqamah pada telinga
yang kiri, maka anak itu tidak diganggu oleh Ummush Shibyan (sejenis
syaithan)". [HR. Ibnus Sunni hal. 220, no. 623, dla’if karena dalam
sanadnya ada perawi bernama Jabbaarah bin Al-Mughlis, Yahya bin ‘Alaa’ dan
Marwan bin Salim]
Keterangan :
Hadits ini juga lemah, karena dalam sanadnya ada perawi bernama
Jabbaarah bin Al-Mughlis, Yahya bin ‘Alaa’ dan Marwan bin Saalim, ketiganya
dla’if.
- Tentang Jabbaarah bin Al-Mughlis, Al-Bazzaar berkata : ia banyak keliru. Daruquthni berkata : ia matruuk. Bukhari berkata : haditsnya mudltharib. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 2, hal. 50, no. 87).
- Tentang Yahya bin Al-’Alaa’, Imam Ahmad bin Hanbal berkata : ia pendusta. ‘Amr bin ‘Ali, Nasaiy dan Daruquthni berkata : ia matruukul hadits. Abu Zur’ah berkata : haditsnya dla’if. As-Sajiy berkata : ia mungkarul hadits. Ad-Daulabiy berkata : ia matruukul hadits. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 11, hal. 229, no. 427).c. Tentang Marwan bin Salim, Bukhari dan Muslim berkata : ia munkarul hadits. Daruquthni berkata : ia matruukul hadits. Abu Hatim berkata : ia munkarul hadits jiddan. Al-Baghawiy berkata : ia munkarul hadits, riwayatnya tidak boleh dijadikan hujjah. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 10, hal. 84, no. 172).
2. Tentang ‘aqiqah
yang dikerjakan pada selain hari ke-7 yaitu pada hari yang ke-14, ke-21,
setelah tua dan sebagainya, sebagai berikut :Dari ‘Abdullah bin Buraidah dari
ayahnya, dari Nabi SAW beliau bersabda, " ‘Aqiqah itu disembelih pada hari
ke-7, atau ke-14, atau ke-21 nya". [HR. Baihaqi juz 9, hal. 303, dla’if
karena dalam sanadnya ada perawi bernama Isma’il bin Muslim]Dari ‘Abdullah bin
Buraidah dari ayahnya, dari Nabi SAW beliau bersabda, " ‘Aqiqah itu
disembelih pada hari ke-7, atau ke-14, atau ke-21 nya". [HR. Thabrani
dalam Al-Ausath juz 5, hal. 457, no. 4879, dla’if karena dalam sanadnya ada
perawi bernama Isma’il bin Muslim]
Keterangan :
Hadits tentang kebolehan ber’aqiqah pada hari ke-14, dan ke-21
tersebut di atas adalah dla'if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Ismail
bin Muslim Al-Makkiy.Tentang Isma’il bin Muslim Al-Makkiy, Al-Jauzajaaniy
berkata : ia waahin jiddan. Abu Zur’ah berkata : ia dla’iful hadits. Abu Hatim
berkata : ia dla’iful hadits, kacau pikirannya. Nasaiy berkata : ia matruukul
hadits. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 1, hal. 289, no. 598).
Adapun riwayat Nabi
SAW beraqiqah setelah beliau menjadi Nabi, haditsnya sebagai berikut :Dari Anas
RA bahwasanya Nabi SAW ber’aqiqah untuk dirinya sesudah beliau menjadi
Nabi". [HR. Baihaqi juz 9, hal. 300, dla’if karena dalam sanadnya ada
perawi bernama ‘Abdullah bin Muharrar]
Keterangan :
Hadits yang menjelaskan bahwa Nabi SAW ber’aqiqah untuk dirinya
setelah menjadi Nabi, ini juga tak dapat dipakai sebagai hujjah/dasar, karena
dalam sanadnya ada perawi bernama Abdullah bin Muharrar. Tentang ‘Abdullah bin
Muharrar, Ibnu Ma’in berkata : ia dla’if. ‘Amr bin ‘Ali, Abu Hatim, ‘Ali bin
Junaid dan Daruquthni berkata : ia matruukul hadits. Abu Zur’ah berkata : ia
dla’iful hadits. Bukhari berkata : ia munkarul hadits. (Lihat Tahdziibut
Tahdziib juz 5, hal. 340, no. 661).
3. Tentang shadaqah
seberat rambut yang dicukur dari kepala si AnakDari Ali bin Abu Thalib, ia
berkata : Rasulullah SAW telah ber’aqiqah bagi Hasan seekor kambing dan
bersabda, "Ya Fathimah, cukurlah rambutnya dan bersedeqahlah seberat
rambut kepalanya dengan perak". Maka adalah beratnya satu dirham atau setengah
dirham". [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 37, no. 1556, dan ia mengatakan : Ini
hadits hasan gharib, sanadnya tidak sambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar